Rabu, 25 November 2009

Bingkai Suci dari Losari

Pesantren Majma’al Bahrain Shiddiqiyyah tak ubahnya sebuah oase. Hening, indah, dan membawa banyak kesegaran. Pesantren yang popularitasnya sudah merambah hingga negeri sebarng ini berada di Desa Losari, Kecamatan Ploso, Kabupaten Jombang. Jauh dari hiruk pikuk kota dan polusi udara.

Sementara jarak 10 kilometer dari komplek Pesantren itu, tepatnya di Desa Kabuh didapati sebuah pemandangan unik. Di sana berdiri bangunan-bangunan bergaya arsitektur unik lengkap dengan nama-nama daerah di Indonesia. Dan, ada beberapa yang bernama dari negeri luar. Salah satunya adalah Malaysia.

“Bangunan itu biasa digunakan untuk menghormati anggota Shiddiqiyyah yang berasal dari daerah masing-masing saat datang kemari,” ujar sumber EastJava Traveler yang tak mau disebutkan namanya.

Gaya bangunan-bangunan yang menarik inilah yang menjadi daya tarik khas di Pesantren Majma’al Bahrain (pertemuan dua samudera). Seperti yang diamati EastJava Traveler ketika mengunjungi tempat ini beberapa waktu lalu.

Melangkahkan kaki menuju bangunan di sisi belakang terlihat begitu mempesona. Antara lain Al-Istianah Li Ahli Hizbil Istiqomah Shiddiqiyyah, komplek pesantren putri Fatimah Binti Maimun, Baitul Maghfiroh, gubuk pengkaderan Shiddiqiyyah, Kulliyatul Minhajul Abidin, makam para petinggi seperti Kyai Ahmad Sanusi Abdul Ghofar dan makam Kyai Ahmad Syuhada’, Tarbiyatul Hifdul Ghulam wal Banat, kantor Pesantren Majma’al Bahrain Shiddiqiyyah, Gubuk Akmaliyah, monumen Hubbul Wathon Minal Iman, Maqosidul Qur’an, dan masih banyak bangunan lainnya.

Ada juga bangunan yang begitu menggoda mata dan tak kalah penting adalah Jamiatul Mudzakirin. Bangunan bergaya timur tengah yang di sudut luar banyak terdapat bola dunia dan berdiri di atas kolam ikan. Nama gedung ini dari kata Jami’at yang berarti perkumpulan. Sedangkan Al-Mudzakirin yang artinya orang-orang yang berdzikir pada Allah. Harfiahnya Jamiatul Mudzakirin berarti perkumpulan orang-orang yang berdzikir pada Allah, atau orang-orang yang mengingat, juga sadar akan keberadaan dan kuasa Allah.

Ketua Pesantren, Kyai Masrukhan Mu’thi menjelaskan jika di dalam gedung Jamiatul Mudzakirin dijadikan tempat baiat pelajaran pokok Thoriqoh Shiddiqiyyah. Pelajaran ini diberikan Mursyid atau para kholifah pesantren.

“Memang di Majma’al Bahrain tiap bangunan memiliki fungsi dan filsafat sendiri-sendiri,” aku Masrukhan Mu’thi. Salah satu contohnya adalah gedung Jamiatul Mudzakirin tadi.

Multikultural dan Modernitas
Sebagai pesantren, Majma’al Bahrain juga membekali para santri dengan pendidikan agama dan juga umum. Yang mana dikelompokkan empat bagian, yakni pendidikan formal Tarbiyah Hifdhul Ghulam Wal Banat (THGB) yang bertujuan mendidik murid agar jadi hamba Allah yang bersyukur.

Ada pula pendidikan non formal. Meliputi Baiat Thoriqoh Shiddiqiyyah, Kautsaran, pengajian rutin setiap tanggal 15 Hijriyah dan pengajian hari besar Islam, ubudiyah dan Tasawwuf, dan masih banyak lainnya.

Setelah itu ada pendidikan usaha, ketrampilan dan bangunan. Ini diberikan agar membentuk dan menanamkan jiwa entrepreneur, kreasi, cinta tanah air, dan juga mandiri pada seluruh santri.

Pendidikan usaha di pesantren ini dan telah berkembang, seperti Koperasi Muyassar dengan usahanya produksi teh daun Jombang, Rumah Makan Yusro, perusahaan air kemasan Maaqo, percetakan Shiddiqiyyah, grafir kaca, industri sepatu kulit, krom logam, seni relief, seni ukir, dan masih ada unit usaha mandiri dan kreatif lainnya.

Selain ketiga basic itu, di pesantren ini juga menganjurkan para santri agar dapat berorganisasi. Dan organisasi yang telah ada, antara lain Yayasan Pendidikan Shiddiqiyyah (YPS) yang telah memiliki 58 cabang di tingkat kabupaten. Organisasi Shiddiqiyyah (ORSHID) memiliki 17 DPW di tingkat propinsi, perwakilan di luar negeri (Malaysia dan Singapura), dan 100 DPD di tingkat kabupaten. Dan masih banyak organisasi lain di bawah naungan Pesantren Majma’al Bahrain.

Kini, santri yang belajar di pesantren mencapai 1500 orang. Sebagian ada yang menetap, selebihnya hanya datang sesekali. “Karenanya, Majma’al Bahrain lebih pasnya bukan pondok pesantren, melainkan sebagai pesantren,” imbuhnya. Alhasil, dengan pola seperti ini sampai sekarang jumlah murid terus bertambah. Mereka pun telah tersebar di seluruh Indonesia, bahkan Malaysia dan Singapura.

Tasawwuf
Sebelum Pesantren Majma’al Bahrain Shiddiqiyyah berdiri di Desa Losari, Kecamatan Ploso, Kabupaten Jombang, pada 1 Dzulhijjah 1393 Hijriyah atau 3 Januari 1974, telah ada Pesantren Kedung Turi yang didirikan oleh Kyai Ahmad Syuhada’. Setelah Ahmad Syuhada’ meninggal dunia nama Kedung Turi tak lagi melenggang.

Namun, ajarannya masih tetap bercahaya dan diteruskan oleh sang putra M. Cholil yang dikenal dengan nama Kyai Abdul Mu’thi. Pada masanya (tahun 1948) telah dibangun sebuah masjid yang sampai sekarang dikenal dengan nama Masjid Baitus Shiddiqin.

Setelah Abdul Mu’thi tutup usia tahun 1948. Tongkat perjuangan dilanjutkan putra keenam yang bernama Abdul Aziz. Sayang masanya cuma sebentar, karena ia tinggal hijrah ke Salatiga, Jawa Tengah, hingga akhirnya meninggal pada tahun 1960.

Melihat kondisi ini, Kyai Muchtar Mu’thi putra ke-12 Abdul Mu’thi, berinisiatif meneruskan ajaran ayahandanya. Sejak tahun 1959, ia mulai mengajarkan ilmu-ilmu Thoriqoh Shiddiqiyyah kepada masyarakat.

Selang kemudian, jumlah santri berkembang pesat. Untuk memenuhi standar, pesantren pun dibangun lebih luas. Tahun 1968, Muchtar Mu’thi mendirikan gubuk berukuran 5×3 meter yang terbuat dari bambu dan atap daduk (daun tebu,red). Ada yang bilang inilah cikal bakal pesantren. Karena empat tahun kemudian dibangunlah gedung Jamiatul Mudzakirin.

Januari 1974, pesantren ini kembali berbenah. Dibangunlah sebuah pondok berukuran 32×6 meter yang dibagi menjadi delapan ruang, dan satu ruang terpisah. Dan, tahun 1987, bangunan itu dipindah ke sebelah utara dan dijadikan asrama putra. Kini, bangunan ini kembali beralih fungsi dan dijadikan asrama putri.

Beberapa tahun kemudian, Muchtar Mu’thi dibantu saudara kandungnya Masrukhan Mu’thi terus berjalan seirama untuk membawa kejayaan Pesantren Majma’al Bahrain Shiddiqiyyah. Hasilnya, luas area pesantren makin berkembang hingga mencapai 40 hektar. Enam hektar diantaranya digunakan sebagai lahan bangunan ikon-ikon religi yang sangat menawan. “Keindahan ini sesuai dengan konsep ajaran tasawwuf yang kami tanamkan di sini,” kata Masrukhan Mu’thi.
Lebih lanjut ia menjelaskan, ajaran tasawwuf merupakan hakikatnya ajaran Islam. Tasawwuf itu bagian inti dan bukti cinta agama Islam, yang didalamnya tersimpan berjuta keindahan.

“Prinsip itu yang kami pegang dan kami selalu menanamkan cinta pada tanah air. Meski, dulu kami dicap nyleneh oleh banyak orang tapi kita tetap gigih pertahankan azas. Dan hasilnya, dulu kuwaci kini rambutan, dulu benci sekarang jadi rebutan,” paparnya sembari tersenyum.

naskah : m rido’i | foto : wt atmojo

http://www.eastjavatraveler.com

Selasa, 24 November 2009

Ki Ageng Ngaliman

Bila anda sempat berkunjung ke Kabupaten Nganjuk. Bolehlah anda melihat keindahan air terjun Sedudo. Atau jika anda seorang yang gemar lelaku spiritual, tentunya anda akan menyempatkan diri mengunjungi Makam Ki Ageng Ngaliman, Pertapaan Sedepok, selain air terjun Sedudo dan beberapa air terjun lain yang lebih ke dalam.

Nama atau keberadaan tempat-tempat tersebut tidak bisa lepas dari nama seorang tokoh, Ki Ageng Ngaliman. Melihat dari gelarnya, Ki Ageng adalah sebutan seorang penguasa daerah atau yang dituakan secara pemerintahan. Sedang Ngaliman adalah sebuah nama tempat yang sekarang berubah menjadi Ngliman. Desa di lereng gunung Wilis, sebelah selatan di wilayah kecamatan Sawahan Kabupaten Nganjuk.

Berikut cuplikan dari http://www.nganjukkab.go.id tentang Ki Ageng Ngaliman:

Berdasarkan data dan informasi yang direkam oleh Tim Penelusuran Sejarah Ngaliman yang melibatkan berbagai nara sumber baik yang berada di daerah Ngliman antara lain Mbah Iro Karto (sesepuh masyarakat), Drs. Sumarsono (Kades Ngliman), Parmo (Mantan Kades Ngliman) , Suprapto (mantan Kades Sidorejo), Imam Syafi’i (Juru Kunci Makam), Sumarno (Kamituwo), Sarni (Jogoboyo) maupun nara sumber yang berada diluar daerah Ngliman antara lain Kyai Ahmad Suyuti (Ngetos), KH. Qolyubi (Keringan), KH. Moh. Huseini Ilyas (Karang Kedawang , Trowulan Mojokerto). KH. Moh. Huseini Ilyas ini merupakan salah satu keturanan Ki Ageng Ngaliman Gedong Kulon, maka tersusunlah tulisan seperti di bawah ini.

Di Desa Ngliman terdapat dua makam yang sama-sama disebut Ki Ageng Ngaliman. Akan tetapi guna membedakan kedua makam tersebut maka digunakan sebutan :
a. Makam Gedong Kulon ;
b. Makam Gedong Wetan.
Ki Ageng Ngaliman Gedong Kulon
Ki Ageng Ngaliman dimakamkan di Desa Ngliman Kecamatan Sawahan + 50 Meter sebelah selatan Balai Desa Ngliman. Beliau dimakamkan bersama-sama dengan para sahabat dan pengikutnya. Dalam satu kompleks bangunan makam tersebut terdapat enam makam antara lain :
a. Ki Ageng Ngaliman ;
b. Pengeran Pati ;
c. Pangeran Kembang Sore ;
d. Pangeran Tejo Kusumo ;
e. Pangeran Blumbang Segoro ;
f. Pangeran Sumendhi.

Menurut nara sumber dari Ngliman bahwa di pintu depan Makam Ki Ageng Ngaliman terdapat gambar bintang, kinjeng, ketonggeng, burung dan bunga teratai. Gambar-gambar tersebut kemungkinan menunjukkan makna tersendiri, namun sampai saat ini penulis belum bisa mengungkapkannya.

Ki Ageng Ngaliman berasal dari Solo Jawa Tengah. Ketika Surakarta digempur oleh Belanda, maka oleh Nur Ngaliman yang pada waktu itu menjabat sebagai Senopati Keraton Surakarta dengan sebutan Senopati Suroyudo, Keraton Surakarta dikocor secara melingkar dengan air kendi. Akibat dari tindakan tersebut kendaraan pasukan Belanda luluh, waktu masuk keraton seperti masuk sarang angkrang, akhirnya beliau ditemui oleh Nabi Khidir agar menemui sanak saudaranya yang ada di Karang Kedawang Trowulan Mojokerto.

Ki Ageng Ngaliman masih keturunan Arab dan mempunyai anak sebanyak 21 orang. Keterangan ini diperoleh dari salah satu keturunan Ki Ageng Ngaliman yang bernama KH. Huseini Ilyas. Perang di Solo tersebut melibatkan kaum Cina yang dikenal dengan sebutan Perang Gianti pada sekitar tahun + 1720 M. (sumber : KH. Qolyubi).

SILSILAH KI AGENG NGALIMAN menurut KH. Huseini Ilyas adalah RONGGOWARSITO ----- NUR FATAH ----- NUR IBRAHIM ----- SYEH YASIN SURAKARTA ----- NUR NGALIMAN/ SENOPATI SUROYUDO ----- MUSYIAH ----- I L Y A S ----- KH. HUSEINI ILYAS (TROWULAN MOJOKERTO)

Perjalanan Hidupnya KH. Qolyubi tokoh ulama asal Kelurahan Mangundikaran itu berpendapat bahwa aktifitas yang dilakukan Ki Ageng Ngaliman adalah untuk mempersiapkan perjuangan melawan Belanda dengan diadakan pelatihan fisik dan mental yang bertempat di Padepokan yang sampai saat ini disebut Sedepok, dan di Sedudo yang letaknya di Puncak Gunung Wilis. Perjuangan tersebut ditujukan guna memerangi Pemerintah Belanda yang sedang ikut mengendalikan pemerintahan di Kasultanan Surakarta.

Dasar pemikiran yang melatarbelakangi hijrahnya Ki Ageng Ngaliman dari Solo ke Nganjuk adalah karena Nganjuk merupakan wilayah Kasultanan Mataram sehingga juga berguna untuk menghindari kecurigaan maka Ki Ageng Ngaliman melatih prajuritnya menetap di daerah Nganjuk yang merupakan wilayah kasultanan Mataram. Sehingga terjadilah kepercayaan bahwa siapa saja yang menyebut nama Kyai Ageng Ngaliman akan mati dimakan binatang buas sebab memang beliau dirahasiakan namanya agar supaya tidak diketahui oleh Kasultanan Solo.

Dalam perjalanan waktu menurut cerita bahwa desa Kuncir asal usulnya dari murid Ki Ageng Ngaliman yang meninggal dalam perjalanan di tempat tersebut, dia adalah seorang cina yang waktu itu cina memakai rambut yang dikuncir/dikepang sehingga tempat meninggalnya murid Ki Ageng Ngaliman tersebut di sebut Desa Kuncir.

Dari uraian tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Ki Ageng Ngaliman merupakan seorang Kyai yang mempunyai keahlian nggembleng ulah kanuragan keprajuritan. Bagi masyarakat Ngliman, karomah yang dirasakan sampai saat ini adanya ketentraman dan kedamaian dalam kehidupannya.
Mengingat Ki Ageng Ngaliman yang mempunyai keahlian neggembleng ulah kanuragan keprajuritan maka banyak pusaka yang ditinggalkannya. Ki Ageng Ngaliman masih mempunyai peninggalan berupa tanah di depan Masjid Ngaliman sehingga oleh perangkat dusun waktu itu tanah tersebut dibangun sebuah tempat yang disebut dengan Gedong Pusaka dan peninggalan pusakanya Ki Ageng Ngaliman di tempatkan di Gedong pusaka tersebut. Sebenarnya pusaka Ki Ageng Ngaliman cukup banyak tetapi ada yang dicuri orang sehingga yang ada di Gedong Pusaka saat ini hanya ada beberapa pusaka.