Pesantren Majma’al Bahrain Shiddiqiyyah tak ubahnya sebuah oase. Hening, indah, dan membawa banyak kesegaran. Pesantren yang popularitasnya sudah merambah hingga negeri sebarng ini berada di Desa Losari, Kecamatan Ploso, Kabupaten Jombang. Jauh dari hiruk pikuk kota dan polusi udara.
Sementara jarak 10 kilometer dari komplek Pesantren itu, tepatnya di Desa Kabuh didapati sebuah pemandangan unik. Di sana berdiri bangunan-bangunan bergaya arsitektur unik lengkap dengan nama-nama daerah di Indonesia. Dan, ada beberapa yang bernama dari negeri luar. Salah satunya adalah Malaysia.
“Bangunan itu biasa digunakan untuk menghormati anggota Shiddiqiyyah yang berasal dari daerah masing-masing saat datang kemari,” ujar sumber EastJava Traveler yang tak mau disebutkan namanya.
Gaya bangunan-bangunan yang menarik inilah yang menjadi daya tarik khas di Pesantren Majma’al Bahrain (pertemuan dua samudera). Seperti yang diamati EastJava Traveler ketika mengunjungi tempat ini beberapa waktu lalu.
Melangkahkan kaki menuju bangunan di sisi belakang terlihat begitu mempesona. Antara lain Al-Istianah Li Ahli Hizbil Istiqomah Shiddiqiyyah, komplek pesantren putri Fatimah Binti Maimun, Baitul Maghfiroh, gubuk pengkaderan Shiddiqiyyah, Kulliyatul Minhajul Abidin, makam para petinggi seperti Kyai Ahmad Sanusi Abdul Ghofar dan makam Kyai Ahmad Syuhada’, Tarbiyatul Hifdul Ghulam wal Banat, kantor Pesantren Majma’al Bahrain Shiddiqiyyah, Gubuk Akmaliyah, monumen Hubbul Wathon Minal Iman, Maqosidul Qur’an, dan masih banyak bangunan lainnya.
Ada juga bangunan yang begitu menggoda mata dan tak kalah penting adalah Jamiatul Mudzakirin. Bangunan bergaya timur tengah yang di sudut luar banyak terdapat bola dunia dan berdiri di atas kolam ikan. Nama gedung ini dari kata Jami’at yang berarti perkumpulan. Sedangkan Al-Mudzakirin yang artinya orang-orang yang berdzikir pada Allah. Harfiahnya Jamiatul Mudzakirin berarti perkumpulan orang-orang yang berdzikir pada Allah, atau orang-orang yang mengingat, juga sadar akan keberadaan dan kuasa Allah.
Ketua Pesantren, Kyai Masrukhan Mu’thi menjelaskan jika di dalam gedung Jamiatul Mudzakirin dijadikan tempat baiat pelajaran pokok Thoriqoh Shiddiqiyyah. Pelajaran ini diberikan Mursyid atau para kholifah pesantren.
“Memang di Majma’al Bahrain tiap bangunan memiliki fungsi dan filsafat sendiri-sendiri,” aku Masrukhan Mu’thi. Salah satu contohnya adalah gedung Jamiatul Mudzakirin tadi.
Multikultural dan Modernitas
Sebagai pesantren, Majma’al Bahrain juga membekali para santri dengan pendidikan agama dan juga umum. Yang mana dikelompokkan empat bagian, yakni pendidikan formal Tarbiyah Hifdhul Ghulam Wal Banat (THGB) yang bertujuan mendidik murid agar jadi hamba Allah yang bersyukur.
Ada pula pendidikan non formal. Meliputi Baiat Thoriqoh Shiddiqiyyah, Kautsaran, pengajian rutin setiap tanggal 15 Hijriyah dan pengajian hari besar Islam, ubudiyah dan Tasawwuf, dan masih banyak lainnya.
Setelah itu ada pendidikan usaha, ketrampilan dan bangunan. Ini diberikan agar membentuk dan menanamkan jiwa entrepreneur, kreasi, cinta tanah air, dan juga mandiri pada seluruh santri.
Pendidikan usaha di pesantren ini dan telah berkembang, seperti Koperasi Muyassar dengan usahanya produksi teh daun Jombang, Rumah Makan Yusro, perusahaan air kemasan Maaqo, percetakan Shiddiqiyyah, grafir kaca, industri sepatu kulit, krom logam, seni relief, seni ukir, dan masih ada unit usaha mandiri dan kreatif lainnya.
Selain ketiga basic itu, di pesantren ini juga menganjurkan para santri agar dapat berorganisasi. Dan organisasi yang telah ada, antara lain Yayasan Pendidikan Shiddiqiyyah (YPS) yang telah memiliki 58 cabang di tingkat kabupaten. Organisasi Shiddiqiyyah (ORSHID) memiliki 17 DPW di tingkat propinsi, perwakilan di luar negeri (Malaysia dan Singapura), dan 100 DPD di tingkat kabupaten. Dan masih banyak organisasi lain di bawah naungan Pesantren Majma’al Bahrain.
Kini, santri yang belajar di pesantren mencapai 1500 orang. Sebagian ada yang menetap, selebihnya hanya datang sesekali. “Karenanya, Majma’al Bahrain lebih pasnya bukan pondok pesantren, melainkan sebagai pesantren,” imbuhnya. Alhasil, dengan pola seperti ini sampai sekarang jumlah murid terus bertambah. Mereka pun telah tersebar di seluruh Indonesia, bahkan Malaysia dan Singapura.
Tasawwuf
Sebelum Pesantren Majma’al Bahrain Shiddiqiyyah berdiri di Desa Losari, Kecamatan Ploso, Kabupaten Jombang, pada 1 Dzulhijjah 1393 Hijriyah atau 3 Januari 1974, telah ada Pesantren Kedung Turi yang didirikan oleh Kyai Ahmad Syuhada’. Setelah Ahmad Syuhada’ meninggal dunia nama Kedung Turi tak lagi melenggang.
Namun, ajarannya masih tetap bercahaya dan diteruskan oleh sang putra M. Cholil yang dikenal dengan nama Kyai Abdul Mu’thi. Pada masanya (tahun 1948) telah dibangun sebuah masjid yang sampai sekarang dikenal dengan nama Masjid Baitus Shiddiqin.
Setelah Abdul Mu’thi tutup usia tahun 1948. Tongkat perjuangan dilanjutkan putra keenam yang bernama Abdul Aziz. Sayang masanya cuma sebentar, karena ia tinggal hijrah ke Salatiga, Jawa Tengah, hingga akhirnya meninggal pada tahun 1960.
Melihat kondisi ini, Kyai Muchtar Mu’thi putra ke-12 Abdul Mu’thi, berinisiatif meneruskan ajaran ayahandanya. Sejak tahun 1959, ia mulai mengajarkan ilmu-ilmu Thoriqoh Shiddiqiyyah kepada masyarakat.
Selang kemudian, jumlah santri berkembang pesat. Untuk memenuhi standar, pesantren pun dibangun lebih luas. Tahun 1968, Muchtar Mu’thi mendirikan gubuk berukuran 5×3 meter yang terbuat dari bambu dan atap daduk (daun tebu,red). Ada yang bilang inilah cikal bakal pesantren. Karena empat tahun kemudian dibangunlah gedung Jamiatul Mudzakirin.
Januari 1974, pesantren ini kembali berbenah. Dibangunlah sebuah pondok berukuran 32×6 meter yang dibagi menjadi delapan ruang, dan satu ruang terpisah. Dan, tahun 1987, bangunan itu dipindah ke sebelah utara dan dijadikan asrama putra. Kini, bangunan ini kembali beralih fungsi dan dijadikan asrama putri.
Beberapa tahun kemudian, Muchtar Mu’thi dibantu saudara kandungnya Masrukhan Mu’thi terus berjalan seirama untuk membawa kejayaan Pesantren Majma’al Bahrain Shiddiqiyyah. Hasilnya, luas area pesantren makin berkembang hingga mencapai 40 hektar. Enam hektar diantaranya digunakan sebagai lahan bangunan ikon-ikon religi yang sangat menawan. “Keindahan ini sesuai dengan konsep ajaran tasawwuf yang kami tanamkan di sini,” kata Masrukhan Mu’thi.
Lebih lanjut ia menjelaskan, ajaran tasawwuf merupakan hakikatnya ajaran Islam. Tasawwuf itu bagian inti dan bukti cinta agama Islam, yang didalamnya tersimpan berjuta keindahan.
“Prinsip itu yang kami pegang dan kami selalu menanamkan cinta pada tanah air. Meski, dulu kami dicap nyleneh oleh banyak orang tapi kita tetap gigih pertahankan azas. Dan hasilnya, dulu kuwaci kini rambutan, dulu benci sekarang jadi rebutan,” paparnya sembari tersenyum.
naskah : m rido’i | foto : wt atmojo
http://www.eastjavatraveler.com